Bus Idola Publik

DALAM sepekan ini saya rutin melakukan observasi menggunakan bus setiap kali pergi ke kampus. Sebenarnya, moda transportasi kota di Kaohsiung ini bervariasi, mulai dari bus, mass rapid transit (MRT) hingga kereta api biasa. Tapi saya tertarik mengobservasi bus karena sedang dalam masa pelayanan gratis.
Mulanya saya menggunakan MRT dari rumah ke kampus, tapi dengan adanya kebijakan pemerintah kota yang menggalakkan penggunaan bus, maka saya pun berpindah ke moda transportasi yang satu ini.
Kebijakan menggunakan moda bus diluncurkan sejak 1 November 2013 dengan tajuk “Program Bus Gratis”. Program ini telah meningkatkan frekuensi penggunaan bus di kalangan masyarakat dengan tingkat yang cukup memuaskan.
Menurut Dirjen Kantor Transportasi Kaohsiung, rerata penumpang menggunakan bus antara Januari dan September 2013 adalah 122.000 penumpang/hari. Dengan adanya “Program Bus Gratis”, rata-rata penumpang meningkat menjadi 140.000/hari terhitung dari 1-24 November (dengan akumulasi 3.360.209 penumpang) yang artinya meningkat 14,8%.
Program ini memiliki tujuan utama menumbuhkan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan moda transportasi publik. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah kota untuk menyosialisasikan program ini, di antaranya: menggunakan truk sampah daur ulang yang setiap hari melewati kawasan penduduk, menggunakan poster yang ditempel di dalam kereta MRT dan publikasi ke berbagai asosiasi dan organisasi. Tak hanya itu, kawasan wisata dan area parkir pun dipenuhi dengan media sosialisasi program ini.
Bagi saya sebagai mahasiswa yang memiliki kartu pelajar yang telah terintegrasi dengan kartu bus, otomatis saya rasakan banyak sekali kemudahan yang didapat dengan penggunaan kartu multifungsi ini. Yang tak kalah menariknya adalah warga tidak hanya menghemat uang, tapi juga memiliki kesempatan memenangkan salah satu hadiah utama seperti smartphone iPhone 5S dan jam pintar produk Sony SW2 yang disediakan oleh pemerintah kota. Berbagai trik dan terobosan ini terbilang cukup berhasil menjadikan bus sebagai idola publik di Kota Kaohsiung.
Contoh kebijakan menarik ini bukanlah tidak mungkin diterapkan di Aceh. Dengan peningkatan kualitas dan kenyamanan penumpang serta kebijakan yang konsisten, akan berimbas pada kecintaan pada lingkungan dan keteraturan berlalu lintas. Kalau di Taiwan bisa, mengapa Aceh tidak? Akhirnya, salam hangat dari Negeri Formosa!

Antusiasnya Warga Mesir Menziarahi Makam Ulama

SAYA sangat terkesan dengan semangat ziarah masyarakat Mesir ke makam-makam para ulama. Ada sebuah kesadaran dan rasa bangga pada masyarakat Mesir bahwa negerinya adalah negeri para ulama dan aulia. Dengan demikian, rasa takzim kepada ulama masih sangat besar meski gesekan-gesekan aliran keagamaan tetap terasa di sini.
Tinggal di Mesir terasa hambar jika tidak mengunjungi makam para ulama. Tidak sah datang ke Mesir jika orang Aceh tidak menziarahi makam Imam Syafi’i. Makam beliau terletak di dalam Masjid Imam Syafi’i, kawasan Sayyeda Aisya. Di masjid ini juga ada makam Imam Zakaria Al-Anshari yang dikenal dengan gelar Syaikhul Islam. 
Saya merasa beruntung karena tinggal berdekatan dengan Masjid Hussein yang di dalamnya terdapat makam Sayidina Hussein, cucu Nabi Muhammad saw. Banyak sekali orang Mesir yang datang dari berbagai provinsi berziarah ke sini.
Di pengujung musim dingin ini saya rencanakan untuk berziarah ke makam ulama tarikat Syaziliyah, yakni Abu Hasan Syazili di Kota Aswan, selatan Mesir. Ziarah terakhir kali saya lakukan bersama rekan-rekan Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir ke Provinsi Sinai untuk mengunjungi makam Nabi Saleh ‘alaihissalam.
Baru-baru ini organisasi Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kairo membuat program ziarah ke makam para ulama di Alexandria. Kota ini pada suatu masa dulu pernah menjadi lumbung ilmu. Banyak kuburan para fakih dan sufi di sini, seperti Imam Busyairi, pengarang kitab Burdah, juga kuburan Nabi Danil.
Saya memantau bagaimana masyarakat Mesir bisa menempatkan ziarah religi ini dengan sangat apik. Ziarah ke makam-makam para ulama dilakukan untuk memuaskan batin dan bertawasul. Sementara di Aceh saya merasakan sebaliknya, dua tahun lalu ketika mengunjungi  makam Teungku Chiek Pante Kulu, saya merasa sedih campur kecewa, karena makam pengarang hikayat Prang Sabi itu kurang terawat. Saya merasakan animo dan kesadaran masyarakat untuk berziarah sangatlah kurang. Ziarah ke makam-makam para ulama belumlah dijadikan sebagai bagian dari ibadah.
Di Mesir, walaupun masyarakatnya berprofesi sebagai birokrat, namun ia tetap menyempatkan diri menjadi peziarah. Meski demikian, bukan berarti makam para ulama di Mesir terawat dengan baik. Bahkan banyak juga yang terabaikan begitu saja. Cuma, yang sangat menarik adalah antusiasme para peziarah yang luar biasa besarnya.
Mengunjugi makam para ulama setidaknya bisa mengobati hati yang gersang. Kita semata-mata hanya mengambil keberkahan dari kegiatan berziarah ini, sekaligus bertafakur meneladani semangat keulamaan generasi terdahulu. Dari sana kita kembali diingatkan  tentang “kampung keabadian”, karena sebaik-baik nasihat adalah kematian. 
Ghirah Aceh dulu yang sangat menakzimi para ulama perlu kita hidupkan kembali. Anak-anak muda Aceh harus tahu bahwa menziarahi makam para ulama adalah bagian dari memajukan tamadun (budaya) Aceh. Ya Allah, berkahi negeri kami yang kini kerap dilanda prahara politik dan keamanan.
[emailk penulis: azmi_mali2000@yahoo.com]

Pesta Nikah di Narathiwat Thailand

RATUSAN kursi plastik warna biru disusun di halaman rumah. Setiap kursi ditata melingkari sebuah meja bundar. Per meja ada enam kursi. Sedikitnya, ada empat tenda teratak yang memayungi kursi-kursi itu. Semua dipersiapkan untuk menyambut tetamu.
Di samping kanan rumah terdapat sebuah tenda lainnya, tempat kaum ibu berkumpul. Ada yang mengupas bawang, mengiris timun, mengelap piring, dan sebagainya. Di rumah itu akan ada pesta nikah (walimah ursy). Pesta sederhana dengan adat Melayu di Sempadan Selatan Thailand. Warga setempat menyebutnya dengan adat Melayu Patani.
Segala persiapan kenduri dilakukan secara tradisional. Pelakon kerjanya adalah orang-orang kampung, tua muda, laki dan perempuan. Kerja tuan rumah hanya menerima laporan dari orang-orang kampung yang bekerja. Laporan itu, antara lain, semisal kelapa masih kurang, pisau belum cukup, dan lain-lain. Singkatnya, tuan rumah adalah penyedia segala kebutuhan. Yang bekerja adalah orang kampung.
Sehari sebelum pesta, gotong royong (Aceh: meuseuraya) oleh orang-orang kampung sudah tampak. Begitu pula malamnya. Sekumpulan bapak-bapak berkumpul di tempat yang telah disediakan. Di sana, mereka mencincang daging lembu yang sudah disembelih.
Sebagian orang bertindak memotong tulang-tulang lembu tersebut, sebagian lainnya mencincang daging, dan sebagian lain memanaskan air. Beberapa orang memang tampak duduk-duduk saja. Ia perhatikan kerja orang-orang yang mencincang daging lembu tersebut hingga tiba giliran menggantikan yang sudah lelah. Memasak jadi tugas kaum ibu. Esoknya, sebagian masakan tinggal dipanaskan saja.
 Nasi bungkus
Nasi yang sudah dimasak dibungkus dengan plastik gula 2 kg. Nasi bungkus itu diletakkan di atas talam bersama enam buah piring. Umumnya, satu talam ada tiga bungkus nasi. Nasi-nasi itulah yang dihidangkan untuk tetamu dan undangan. Setiap tamu akan menuangkan nasi dari bungkus plastik ke dalam piringnya. Satu plastik cukup untuk dua orang. Jika mereka butuh nasi tambah atau ada sesuatu lainnya yang masih kurang, tetamu boleh meminta lagi.

Bertindak sebagai tukang angkat dan hidang nasi serta kuah ke hadapan tamu-tamu adalah kelompok anak muda laki-laki.
Hal yang tidak pernah ketinggalan dalam talam lauk adalah timun dan sambal terasi. Bagi orang Melayu Patani, timun dan sambal terasi adalah lalap yang mesti ada. Tak hanya di rumah kenduri, di warung-warung nasi sepanjang jalan pun selalu disiapkan timun dicicah bersama sambal terasi. Makanan ini jadi salah satu khas tiga daerah dalam wilayah Patani: Narathiwat, Pattani, dan Yala.
Selain itu, yang menjadi khas tiga daerah ini adalah namplau. Namplau merupakan es kosong di dalam gelas. Musim hujan maupun kemarau, setiap gelas untuk tetamu akan diberi es kosong. Adapun air putihnya sudah disediakan dalam ceret di atas meja. Tetamu tinggal menuangkan air putih ke dalam gelas mereka.
Jika makanan khasnya adalah timun dan sambal terasi, boleh dikatakan pula bahwa minuman tradisional daerah ini adalah namplau. Nyaris setiap tempat, namplau dan mentimun selalu ada.
Penganan lainnya yang tidak ketinggal di rumah-rumah kenduri adalah pulut. Selain pulut kuning, di sini juga disediakan pulut cokelat yang rasanya sangat manis. Pulut kuning biasanya dihidangkan bersama ikan sambal lado. Orang akan menyantap pulut kuning itu seperti makan nasi, dengan lauknya ikan sambal lado.
Hidangan ini biasanya untuk pagi hari. Jikapun dihidangkan siang atau malam, biasanya untuk cuci mulut. Demikian pagi pesta itu. Rombongan pengantin lelaki (lintô barô) sampai di rumah dara barô pagi-pagi sekali. Akad nikah dilangsungkan di rumah dara barô. Bersama lintô barô hadir imam, kepala kampung, orang tua/wali. Ijab qabul dilafazkan oleh lintô kepada orang tua dara baro. Adapun dara barô masih disembunyikan dalam kamar.
Selepas akad nikah, rombongan kecil lintô barô disuguhi pulut kuning. Selesai makan pulut kuning, rombongan lintô pulang ke rumah/kampungnya. Ia kembali ke rumah dara barô menjelang makan siang, bersama rombongan yang lebih besar. Saat itu pula, tetamu dan undangan dari pihak mempelai perempuan berdatangan.
Pelaminan yang dihiasi bunga-bunga kertas sekeliling, diletakkan di luar rumah. Tak ada tempat duduk. Pelaminan itu hanya dibuat untuk berdiri bersalaman. Di sanalah kedua pengantin berfoto bersama sanak famili.
Sebagai adat Melayu, satu hal yang tak tampak hari itu, hanyalah berbalas pantun. Mungkin saja di rumah itu tak ada ahli pantun atau memang disepakati oleh pihak keluarga tak perlu agenda balas pantun.
Terlepas dari itu semua, seremonial adat pernikahan dan adat pesta di sana tidak jauh berbeda dengan di Aceh. Hanya saja, di Aceh kegiatan meuseuraya di rumah-rumah orang walimah sudah mulai luntur seiring masuknya hidangan ala prasmanan. Beda lainnya, mahar yang digunakan di Patani bukan emas, melainkan uang tunai. Demkianlah.
[email penulis: hermanrn13@gmail.com]